Rivalitas sengit antara Juventus dan Torino tercurah sempurna dalam derby tertua di sepakbola Italia, Derby della Mole!


Derby della Mole yang juga memiliki nama sederhana, Derby Turin, jelas kalah pamor jika kita membandingkannya dengan Derby della Madonnina (AC Milan - FC Internazionle), Derby della Capitale (AS Roma - SS Lazio), atau bahkan Derby D'Italia (Juventus - FC Internazionale).

Hal itu terjadi karena kondisi timpang yang dimiliki Juve dan Torino sebagai pelakunya, nyaris dalam seabad terakhir. Jika I Bianconeri begitu perkasa di Serie A dengan koleksi 32 gelar scudetto, maka Il Toro selalu menghuni tempat medioker, meski sempat merasakan tujuh scudetto.

Namun jangan Anda sangsikan pertarungan ketat yang siap tersaji, jika keduanya bertemu. Pada momen itu, terkadang Anda tak bisa menilai perbedaan kelas yang jadi jurang pemisah Juve dan Torino. Semuanya terjadi berkat sejarah dan rivalitas panjang derby tertua di sepakbola Italia tersebut.


                           Bangunan Mole Antonelliana, asal mula nama Derby Della Mole

Sebelum Juventus dan Torino berdiri, setidaknya ada beberapa klub yang mengawali derby di kota Turin dalam kompetisi sepakbola Negeri Pizza. Mereka adalah Torinese, Ginnastica Torino, serta Internazionale Torino. Dan ketika Juve lahir pada tahun 1897, Si Nyonya Tua memulai derby dengan klub-klub perserikatan sebelum Torino, yakni Football Club Torinese Ginnastica, Audace Torino dan Pastore Torino.

Semuanya berlangsung seperti itu hingga akhirnya terjadi perpecahan dalam manajemen Juve pada tahun 1906. Presiden klub kala itu, Alfredo Dick, yang juga merupakan penyandang dana terbesar tidak sejalan dengan mayoritas pengurus tim pimpinannya, menyoal berbagai kebijakan. 

Dick lantas murka dan memilih untuk menyingkir dari Juve, yang kemudian membentuk tim baru untuk jadi pesaing. Bersama beberapa pengikut loyalnya, ia mempersatukan segala perserikatan klub di kota Turin, yang kemudian melahirkan Football Club Torinese, atau yang lebih dikenal dengan nama Torino di akhir 1906.

Sejak saat itu Juve hanya memiliki satu lawan saja di Turin, yakni Torino. Langsung mentas di kasta tertinggi kompetisi sepakbola Italia, derby perdana melawan Juve juga tersaji pada 13 Januari 1907. Hasilnya? Mengejutkan! Dengan permainan yang penuh kengototan, Torino unggul 2-1.

Berita menggemparkan itu langsung tersebar ke seantero Turin, hingga media menyebut Torino adalah wujud balas dendam Dick. Dan beberapa waktu kemudian, persaingan ketat yang tersaji di dalam maupun luar lapangan mengilhami publik Turin untuk menjuluki duel tersebut sebagai Derby della Mole. Nama itu lahir dari sebuah museum klasik yang jadi simbol arsitektur kota Turin, Mole Antonelliana.


                                 Tragedi Superga, jadi titik kejatuhan Torino hingga kini

Berkiprah di kompetisi yang lebih kompetitif pada periode 1940 hingga 1950, revolusi industrial Eropa mulai membedakan kelompok suporter Juve dan Torino. Jika La Vecchia Signora didukung oleh para kaum borjuis di Turin -- mengingat sang pemilik, keluarga Agnelli, adalah pendiri FIAT -- maka kaum proletar selalu identik dengan Il Granata.

Di masa tersebut Torino jauh lebih superior ketimbang Juve. Bagaimana tidak, era Il Grande Torino kala itu sukses melahirkan lima gelar scudetto, dimulai sejak musim 1942/43 hingga 1948/49. Di masa itu Juve hanya diberi tiga kemenangan dari 16 pertemuan, hingga tragedi Superga menerpa Torino pada 1949.

Seluruh penggawa utama Torino tewas dalam tragedi tersebut, termasuk pemain terbaik Italia, Vito Mazzola, yang juga ayah dari Sandro Mazzola. Sejak saat itu, Torino benar-benar jatuh tanpa bisa bangkit lagi. Satu tragedi kemanusiaan yang amat buruk bagi persepakbolaan Italia bahkan Eropa, tapi tidak bagi Juventini.

Berakhirnya era Il Grande Torino menandai dimulainya dominasi mutlak Juve. Kegembiraan para Juventini akan fakta tersebut kemudian dicurahkan ke dalam chants yang berjudul "Solo Superga Vi Ha Fatto Storia", yang berarti "Hanya [tragedi] Superga yang jadi sejarah kalian!"

Dan ketika pertandingan derby tiba, mereka bernyanyi, menirukan gaya pesawat, dan bergoyang kesana kemari, lalu sama-sama berteriak "Boom! Superga!"

Hanya kemurkaan yang hadir dari para tifosi Torino, saat Juventini menyanyikan chants tersebutSejak saat itu pula para tifosi garis keras Juve selalu memanggil tifosi Il Toro, dengan sebutan "inferior" atau "minor". Tak heran jika kerusuhan lebih kerap terjadi dalam Derby della Mole pasca tragedi tersebut.


                              Tragedi Heysel tak pernah membuat tifosi Torino berduka

Memasuki era 1960-an, genderang perang terus dilancarkan para tifosi Torino, tapi Juve hanya duduk manis dan menikmati dominasinya. Juventini pun makin bahagia ketika salah satu legenda terbesar Torino, Gigi Meroni, meninggal dunia secara mendadak pada 15 Oktober 1967.

Namun senyum itu lenyap seketika beberapa hari setelah kematian Meroni, atau tepatnya pada 22 Oktober 1967. Dalam duel putaran pertama Derby della Mole Serie A musim 1967/68, Torino secara mengejutkan sukses membantai Juve 4-0, dalam laga yang sangat emosional.

Dalam derby yang digelar di Stadion Comunale tersebut, sahabat karib Meroni, Nestor Combin, mencetakhat-trick yang dilengkapi dengan satu gol dari Alberto Carelli [yang dalam laga tersebut mengenakan jersey bernomor punggung 7 milik Meroni]. Ironisnya, selepas pertandingan sekelompok Juventini langsung melakukan tindakan yang ekstrim dengan mendatangi dan merusak makam Meroni!
Bak kutukan Meroni dari akhirat, berselang 18 tahun lamanya 39 Juventini tewas secara mengenaskan dalam tragedi Heysel, meski bayarannya adalah trofi Liga Champions. Membalas tragedi Superga, tifosi Torino tak pernah berduka atas apa yang terjadi di Heysel, Belgia. 

Mereka lalu balas dendam dan bersorak dengan chants "Terima Kasih Liverpool" serta "Berikan kami Heysel yang lain". Bahkan ada sebuah lagu dibuat dengan judul "39 di bawah tanah, hidup Inggris!"


                                      Saat Enzo Maresca menanduk 'Banteng' Torino

Meski konflik keras kedua tifosi mulai mereda di masa 1990-an, dominasi Juve atas Torino terus berlanjut dan semakin tegas. Namun begitu, situasi 'adem-ayem' itu kemudian diledakkan oleh bintang Tim Hitam-Putih, Gianluca Vialli, dengan mengantarkan klubnya menang lima gol tanpa balas atas Tim Merah Marun, pada putaran pertama Serie A musim 1994/95.

Pasca laga, tifosi Torino merusak beberapa fasilitas stadion milik bersama, Delle Alpi, dan membuat kericuhan di jalanan. Atas kejadian tersebut, para penggawa Il Granata seakan paham akan sakit hati para suporternya. Secara heroik mereka lantas membalas kekalahan tersebut di putaran kedua, dengan skor tipis 2-1. Siapa sangka jika hasil tersebut jadi kemenangan terakhir Torino atas Juve, yang masih berlaku hingga kini. 

Sayangnya karena kesulitan finansial yang berimbas pada performa buruk, mereka pun terdegradasi di akhir musim tersebut. Seketika kota Turin pun 'damai' sesaat, hingga Torino kembali mapan di musim 2001/02.

Musim itu mungkin jadi salah satu musim terbaik sepanjang sejarah Derby della Mole. Memang tak ada pemenang dalam sepasang bentrok yang tersaji, namun hamparan kualitas yang memacu adrenalin selayaknya perang derby sejati sungguh terasa.

Pada putaran pertama Juve terlihat bakal menang mudah setelah sukses meraih keunggulan 3-0 di babak pertama, via performa brilian Alessandro Del Piero. Namun secara heroik Torino bangkit dengan ganasnya, hingga sukses menyamakan keadaan menjadi 3-3 di paruh kedua! Juve sejatinya bisa menang andai penaltiMarcelo Salas di penghujung laga tak melayang ke bulan.

Di putaran kedua, duel berlangsung tak kalah seru. Dengan permainannya yang ngotot, Torino sukses unggul 2-1, lewat sang ikon klub, Marco Ferrante. Namun beberapa saat jelang laga usai, sebuah tandukan mautEnzo Maresca berhasil menembus jala Luca Bucci, untuk memaksakan hasil imbang 2-2.

Maresca lantas merayakan gol tersebut secara kontroversial dengan meniru selebrasi 'Banteng' ala Torino yang dilakukan Ferrante sebelumnya. Hal itu memancing kericuhan tifosi kedua klub, dengan perang petasan di area parkir Delle Alpi selepas laga.


                   Tekel brutal Immobile pada Tevez yang membangkitkan rivalitas duo Turin

Torino kemudian kembali terdegradasi pada 2004 dan baru kembali pada 2006. Di momen tersebut, Juve sedang berada di titik terendah akibat skandal pengaturan skor, calciopoli. Menilik fakta tersebut, tifosi Torino jelas bahagia dan mulai memanggil para Juventini dengan sebutan "Licik" atau "Mafioso" (Mafia).

Meski begitu, Torino tak juga bisa menang atas Juve sekembalinya sang saudara ke Serie A di musim 2007/08. Lebih parah lagi, mereka bahkan selalu kalah dan tak bisa mencetak sebiji gol pun hingga kini! Pamor Derby Turin pun redup selama beberapa saat, hingga aroma kebangkitan kembali tercium di musim lalu, 2013/14.

Ya, seiring dengan kegemilangan Torino menembus kompetisi Eropa, Juve dibuat kesulitan dalam dua pertemuan yang tersaji, di mana mereka hanya bisa menang tipis 1-0. Bumbu-bumbu kontroversi jadi penyedap kedua laga tersebut, sebagai pembangkit rivalitas.

Mulai dari gol Paul Pogba yang dinilai offside, tekel brutal Ciro Immobile yang disebut nyaris menamatkan karier Carlos Tevez, hingga klaim penalti Omar El Kaddouri atas pelanggaran Andrea Pirlo. Kedua klub bahkan sempat perang komentar di media sosial akibat kasus tersebut.

"Kami memang tak pandai matematika. Tapi kami bisa menghitung hingga 0, seperti angka tendangan ke gawang yang dibuat Torino!" tulis Juventus di akun resmi Twitter mereka.

Torino kemudian membalasnya dengan sindiran terhadap koleksi scudetto La Vecchia Omcidi, "Jangan hanya menghitung ke bawah. Anda berhasil menghitung sampai 31 (ops 29)," balas Torino, juga lewat Twitter.

SUMBER


0 Response to "Rivalitas sengit antara Juventus dan Torino tercurah sempurna dalam derby tertua di sepakbola Italia, Derby della Mole!"

Post a Comment